GARUT, iNewsGarut.id – Langkah aparat kepolisian untuk memeriksakan kondisi kejiwaan pelaku pembakar masjid di wilayah Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, beberapa waktu lalu dinilai sudah tepat. Pelaku berinisial E (29), disebut-sebut menderita gangguan kejiwaan sebelum melakukan aksi membakar Masjid Al Hidayah di Kampung Nagrog, Kecamatan Leles, pada Minggu (22/1/2023) malam lalu.
Kriminolog Universitas Islam Bandung Prof Nandang Sambas menjelaskan, orang dengan gangguan kejiwaan (ODGJ) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Hal ini tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44.
"Di dalam Pasal 44 KUHP ada pengecualian, apabila kejiwaan dia (pelaku) memiliki penyakit atau cacat yang tidak bisa disembuhkan, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Hukum pidana adalah hukum yang rasional, artinya hanya orang yang dinyatakan sehat secara fisik dan psikis yang dapat dimintai pertanggungjawaban," kata Prof Nandang Sambas, pada MNC Portal Indonesia (MPI), saat dihubungi Selasa (24/1/2023).
Dengan kata lain, hukum pidana hanya berlaku bagi seseorang yang memiliki akal sehat. Orang yang terganggu jiwanya, jelas dia, tidak akan menyadari setiap perbuatan yang dilakukan.
"Setiap orang yang berakal sehat dapat dimintai pertanggungjawaban karena melakukan perbuatan secara sadar. Dalam hukum, suatu perbuatan harus diketahui unsur objektif dan subjektifnya, karena jika salah satu unsur ini tidak dapat terpenuhi, misal tidak ada objek atau subjeknya berarti tidak dapat diproses lebih lanjut," ujarnya.
Dengan demikian, orang yang terganggu kesehatan jiwanya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum karena tidak memiliki kesadaran atas apa yang telah dilakukan. Prof Nandang Sambas pun menambahkan, kepastian mengenai kondisi kejiwaan seseorang harus dikeluarkan oleh ahli jiwa, dalam hal ini adalah psikiater yang merupakan seorang dokter spesialis kedokteran jiwa.
Rekomendasi ahli jiwa, sambungnya, dapat digunakan sebagai rujukan terkait status seseorang di mata hukum.
"Maka dalam pengadilan atau ahli hukum seperti jaksa dan polisi tentu akan menggunakan rujukan ahli jiwa. Hanya ahli jiwa yang bisa memberikan rujukan," ucapnya.
Di setiap kasus kriminal, pelaku dengan kondisi kejiwaan yang terganggu biasanya akan dikirim ke rumah sakit jiwa untuk menjalani perawatan. Melansir laman yuridis.id, Pasal 44 KUHP berbunyi (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Seperti diketahui, pelaku pembakar masjid disebut telah berulang kali masuk rumah sakit jiwa. Polisi pun berencana memeriksakan kondisi kejiwaan pelaku kepada ahli jiwa.
"Sudah tiga kali masuk rumah sakit jiwa," kata Kapolres Garut AKBP Rio Wahyu Anggoro.
Dari informasi yang dihimpun, pelaku melakukan aksinya sekira pukul 22.00 WIB. Menurut keterangan sejumlah warga, saat itu pelaku tampak berada di lokasi masjid.
Pelaku sempat membakar kitab suci Al Quran, sebelum akhirnya membakar masjid. Sejumlah warga pun melaporkan Masjid Al Hidayah di Kampung Nagrog, Kecamatan Leles, itu terbakar pada pukul 23.00 WIB.
Editor : ii Solihin
Artikel Terkait