KISAH perjuangan prajurit intelijen Mataram, Nyimas Utari, sangat menarik untuk diketahui. Bagaiman tidak. Telik sandi Matam berparas cantik ini, mendapatkan tugas berat, yakni membunuh Gubernur Jenderal VOC yang terkenal bengis dan kejam, Jans Pieterzoon Coen.
Wajah Nyimas Untari dingin, namun memancarkan ketegasan dan kecantikan khas wanita Jawa. Ketegasan itu diterjemahkan Nyimas Utari dalam sikap kesehariannya. Selain itu, dia juga sangat berani namun juga memiliki ketenangan dan kecerdasan.
Terbukti, dalam menjalankam misi operasi rahasia membunuh Gubernur Jenderal VOC Jans Pieterzoon Coen, Nyimas Utari harus rela menjadi penyanyi di klub tempat berkumpulnya para perwira VOC.
Gambaran sosok wanita prajurit telik sandi Mataram Nyimas Utari tersebut, terlihat menonjol dalam film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta" besutan sutradara Hanung Bramantyo.
Dari film itu, generasi milenial dapat melihat sosok telik sandi Mataram, yang memiliki wajah rupawan bernama lengkap Nyimas Utari Sandijayaningsih. Kisahnya penuh misteri layaknya James Bond si agen rahasia berkode 007 asal Inggris.
Dikutip dari perpusnas go.id, kehadiran Nyimas Utari di klub perwira VOC ini, tidak lepas dari peran Asisten JP Coen, Wong Agung Aceh.
Kehadiran Nyimas Utari di Batavia ini, tentunya tak lepas dari persiapan Mataram, melakukan serangan ke dua ke benteng VOC. Sultan Agung dua kali melakukan serangan ke Batavia. Yakni, pada tahun 1628 yang mengalami kegagalan, dan baru berhasil memenangkan pertempuarn pada serangan kedua dilancarkan pada 1629.
Dalam Babad Jawa, disebutkan pembunuhan terhadap Gubernur Jenderal VOC JP Coen, sudah lama dirancang oleh pasukan intelijen atau telik sandi Mataram, yang dikenal dengan nama Dom Sumuruping Mbanyu.
Aksi Nyimas Utari, sebagai prajurit telik sandi berparas cantik ini, dalam berbagai catatan sejarah, disebutkan berhasil membunuh Gubernur Jendela VOC JP Coen pada 20 September 1629, dengan menggunakan racun arsenik yang dicampurkan minuman.
Setelah itu, JP Coen yang dikenal bengis dan ahli strategi perang, dipenggal kepalanya oleh Nyimas Utari. Potongan kepala itu dilarikan ke luar benteng VOC di Batavia, dan diserahkan kepada Tumenggung Surotani bersama Bagus Wanabaya, lalu dibawa ke Mataram.
Usai penggalan kepala itu tiba di Mataram, Sultan Agung memerintahkan kepada para prajuritnya, agar kepala JP Coen diawetkan.
Dikemudian hari, penggalan kepala itu dikubur di tengah-tengah tangga menuju ke makam Sultan Agung. Kematian tragis JP Coen di tangan Nyimas Utari tersebut, berawal dari kematian istri JP Coen, Eva Ment bersama anaknya pada 16 September 1629.
Di tengah kekalutan dan keterpurukan atas kematian istri dan anaknya, JP Coen begitu lengah sehingga tak menyadari Nyimas Utari telah menyiapkan serangan mematikan. Nyimas Utari disebut juga memiliki kedekatan dengan Eva Ment. Intrik-intrik di dalam benteng Batavia tersebut, dengan cermat dirancang oleh Bagus Wanabaya yang merupakan ayah kandung Nyimas Utari.
Bagus Wanabaya berani mempertaruhkan nyawa anaknya sendiri, dalam misi rahasia tersebut. Kisah misi rahasia sebagai telik sandi yang dijalankan oleh Nyimas Utari, juga pernah dilakukan ibundanya, Roro Pembayun sebelum peristiwa pembunuhan JP Coen.
Roro Pembayun menyamar menjadi penari jalanan, sebelum Mataram Kotagedhe menghancurkan kerajaan Mangir. Jauh sebelum dikirim ke Batavia, Bagus Wanabaya mengirimkan putri cantiknya ini untuk bergabung dengan telik sandi dari Samudra Pasai, Mahmudin.
Setelah menikah dengan Mahmudin, Nyimas Utari masuk ke benteng VOC dengan berkamuflase sebagai saudagar dan akhirnya dipercaya menjadi mitra bisnis VOC.
Setelah berhasil menjalankan misinya, Nyimas Utari berusaha lari keluar benteng VOC di Batavia, bersama suaminya.
Sayangnya, dalam pelarian itu prajurit telik sandi ini tewas akibat tembakan meriam pasukan VOC. Jenazah Nyimas Utari akhirnya dibopong oleh suaminya sendiri hingga tiba di wilayah Desa Keramat.
Di desa itu pula jenazah wanita prajurit Mataram itu dimakamkan. Kini makam yang dinaungi pohon beringin tersebut dikenal dengan sebutan Keramat Wali Mahmudin.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta