JAKARTA, INEWS.id - Mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menuding faham komunisme telah menyusup ke tubuh TNI dengan hilangnya patung Soeharto dkk di Markas Kostrad. Bahkan panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman menganggap tuduhan Gatot itu merupakan fitnah yang keji.
Gatot menyebut sejumlah barang yang dihilangkan, berada di Museum Dharma Bakti. Barang-barang itu berkaitan dengan penumpasan komunisme di Tanah Air. Beberapa di antaranya yakni diorama patung Soeharto, Sarwo Edhie, dan AH Nasution beserta tujuh pahlawan revolusi yang saat ini sudah hilang.
"Saya mendapat informasi walau bagaimanapun saya mantan Pangkostrad baru akhir-akhir ini disampaikan bahwa diorama bukan hanya patung Pak Harto, patung Pak Sarwo Edhie, sama Pak Nasution, tapi juga tujuh pahlawan revolusi sudah tidak ada di sana, dan khusus di ruangan Pak Harto mencerminkan penumpasan pemberontakan G30SPKI dikendalikan oleh Pak Harto di markasnya," ujar Gatot pada acara webinar yang berjudul 'TNI Vs PKI' pada Minggu (26/09) kemarin.
Selain itu ia juga menyebut insiden ini lantas membuktikan adanya kemungkinan sudah berkembangnya paham komunis di tubuh TNI. "Maka saya katakan ini kemungkinan sudah ada penyusupan paham-paham kiri, paham-paham komunis di tubuh TNI," tuturnya.
Sebagai orang baru yang menjabat sebgai PANGKOSTRAD Dudung Abdurachman angkat bicara terkait tuduhan adanya dugaan penyusupan paham-paham komunisme di TNI. Dudung membenarkan semula patung Soeharto, Sarwo Edhi, dan AH Nasution ada di dalam Museum Dharma Bakti.
Namun, patung-patung itu diambil oleh penggagasnya, yakni Letjen TNI (Purn) AY Nasution. Pengambilan patung itu karena alasan pribadi atas izin Dudung.
"Kini patung tersebut, diambil oleh penggagasnya, Letjen TNI (Purn) AY Nasution yang meminta izin kepada saya selaku Panglima Kostrad saat ini. Saya hargai alasan pribadi Letjen TNI (Purn) AY Nasution, yang merasa berdosa membuat patung-patung tersebut menurut keyakinan agamanya. Jadi, saya tidak bisa menolak permintaan yang bersangkutan," tuturnya.
Bahkan Dudung juga menepis jika pengambilan patung itu disimpulkan TNI melupakan peristiwa G-30S-PKI. Dudung menegaskan pihaknya tak pernah melupakan peristiwa itu.
Oleh sebab itu, Dudung menilai tudingan Gatot bahwa TNI disusupi PKI gegara patung itu tidaklah benar. Tuduhan itu, kata Dudung, adalah tudingan yang keji.
"Jadi, tidak benar tudingan bahwa karena patung diorama itu sudah tidak ada, diindikasikan bahwa AD telah disusupi oleh PKI. Itu tudingan yang keji terhadap kami. Seharusnya Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo selaku senior kami di TNI, terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan bisa menanyakan langsung kepada kami, selaku Panglima Kostrad. Dalam Islam, disebut tabayun agar tidak menimbulkan prasangka buruk yang membuat fitnah, dan menimbulkan kegaduhan terhadap umat dan bangsa," jelasnya.
"Foto-foto peristiwa serta barang-barang milik Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto saat peristiwa 1965 itu masih tersimpan dengan baik di museum tersebut. Hal ini sebagai pembelajaran agar bangsa ini tidak melupakan peristiwa pemberontakan PKI dan terbunuhnya pimpinan TNI AD serta Kapten Piere Tendean," imbuh dia.
Sementara Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengaku enggan terlibat dalam polemik isu komunis di TNI yang dikaitkan dengan hilangnya patung para tokoh militer terdahulu dari Markas Kostrad. Hadi menilai isu tersebut tak dapat dibuktikan secara ilmiah.
"Saya tidak mau berpolemik terkait hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tidak bisa suatu pernyataan didasarkan hanya kepada keberadaan patung di suatu tempat," kata Hadi kepada media, Senin (27/09/21).
Hadi menuturkan Kostrad pun sudah mengklarifikasi soal latar belakang patung para tokoh TNI kini tak lagi berada di Museum Dharma Bhakti, "Masalah ini sudah diklarifikasi oleh institusi terkait," ucap Hadi.
"Saya lebih menganggap statement tersebut sebagai suatu nasihat senior untuk kita sebagai Prajurit Aktif TNI. (Agar) senantiasa waspada, agar lembaran sejarah yang hitam tidak terjadi lagi," ujar Hadi.
Namun tanggapan miring yang harus di rasionalisasi keluar dari Pengamat militer dan intelejen Nuning Kertopati menilai ucapan Gatot Nurmantio itu harus ada pembuktian atas tuduhan itu.
"Menurut saya harus ada pembuktian atas tuduhan tersebut agar tak jadi fitnah bagi TNI. Adapun ada benda yang hilang tentu hal tersebut tak bisa begitu saja sebagai bukti adanya komunis di tubuh TNI," kata Nuning, kepada wartawan, Senin (27/09/21).
Nunng menyarankan Gatot untuk melaporkan ke pihak yang berwajib jika menemukan adanya indikasi tersebut. Jangan sampai menurutnya info yang belum terbukti itu terus berkembang hingga menjadi sebuah kebenaran.
"Jadi apabila memang ada indikasi penyusupan atau bahkan penyebaran paham komunis di tubuh TNI silakan dilaporkan agar dapat diproses hukum. Tentu ke pihak berwajib yaitu Polri bukan menyampaikannya ke media. Saat ini kan zaman peperangan asimetris dan juga berkembangnya post truth, jangan sampai info yang berpotensi timbulkan kegaduhan ini merupakan post truth," ujarnya.
Diketahui, post-truth adalah sebuah kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Nuning lantas menjelaskan ada tiga strategi yang digunakan dalam perang asimetris.
"Perang asimetris secara umum memiliki strategi menggunakan non state aktor (perusahaan, organisasi media, bisnis, gerakan pembebasan rakyat, kelompok lobi, kelompok agama, badan-badan bantuan, dan aktor kekerasan non-negara seperti pasukan paramiliter), strategi pendadakan (strategic surprise), tidak terorganisir, serta mencari kemenangan dengan merontokkan atau menyusutkan kekuatan musuh, bukan dengan menghadapinya," ujarnya.
Nuning juga mengatakan seiring perkembangan zaman perang itu juga merambah ke infrastruktur internet. Hal ini bisa dibilang ancaman siber yang sudah terjadi di berbagai belahan dunia.
"Selain itu, seiring dengan perkembangan Internet of Things (IoT), maka peretasan ke infrastruktur kritis, pencurian data strategis, spionase dan propaganda di media sosial, radikalisasi di dunia maya, terorisme, dan berbagai ancaman siber lainnya tengah berlangsung di berbagai belahan dunia," pungkasnya.
Editor : Evan SR