JAKARTA, iNews.id - Dalam pertempuran 10 November 1945, ada sosok ulama yang tidak kalah hebat dengan Bung Tomo dan Soemarsono.
Ulama tersebut adala Kiai atau KH Abbas bin Abdul Jamil dari Pesantren Buntet, Cirebon. Kisah perjuangannya dalam pertempuran 10 November 1945 sangat legendaris.
Peristiwa yang kemudian hari dikenal sebagai Hari Pahlawan, ini sebenarnya bukan pertempuran. Peristiwa ini lebih tepat disebut sebagai pembantaian atau aksi balas dendam Inggris terhadap tewasnya Brigjen Mallaby.
Sejak jam 6 pagi, Surabaya dihujani peluru meriam-meriam dari kapal-kapal laut Inggris. Tidak hanya dari laut, dari udara pesawat mereka juga menghujani rakyat di Kota Surabaya dan kampung-kampung dengan bom-bom.
Serangan bom ini membuat ribuan rumah warga, di Kota Surabaya dan kampung-kampung hancur berantakan, rata dengan tanah. Tidak hanya itu, puluhan ribu jiwa juga melayang, mayat terlihat bergelimpangan di mana-mana.
"Berhari-hari mereka lakukan serangan tersebut dengan kejam dan tak ada pertimbangan perikemanusiaan sama sekali," kenang Soemarsono, pelaku perjuangan seperti dikutip MPI dalam Revolusi Agustus, Rabu (10/11/2021).
Dalam serangan itu, pihak Inggris mengakui, jumlah korban tewas dari rakyat dalam serangan itu mencapai 20 ribu jiwa. Angka ini, belum termasuk mereka yang berhasil selamat, namun menderita luka berat dan ringan.
"Puluhan ribu rakyat menjadi korban pemboman dalam dua kali pertempuran di Surabaya. Tetapi rakyat dan pemuda tidak ada pikiran menyerah atau minta ampun. Bahkan mendidih semangatnya," sambung Soemarsono.
Melihat kondisi itu, Bung Tomo meminta petunjuk kepada Hadhratusy Syaikh Kiai Haji Hasyim Ashari untuk menyerang. "Tunggu kedatangan Kiai dari Cirebon," jawab pimpinan Pesantren Tebuireng Jombang dan Rois Akbar NU itu.
Adapun Kiai dari Cirebon yang dimaksud Hasyim Ashari adalah Kiai Abbas dari Pondok Pesantren Buntet, Cirebon.
Potongan koran era perjuangan. (Foto: Istimewa/Api Sejarah 2)
Kiai Abbas Buntet adalah putra sulung Kiai Abdul Jamil, putra Kiai Mutaad yang juga menantu Mbah Muqqayim, pendiri Pondok Pesantren Buntet. Dia lahir, pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H (1879 M) di Pekalangan, Cirebon.
Saat perjuangan kemerdekaan di Indonesia tengah hebat-hebatnya yang ditandai dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Kiai Abbas terjun ke dunia pergerakan meninggalkan kitab kuningnya.
Menurutnya, pada masa itu yang lebih diutamakan adalah keahlian bela diri dan ilmu kanuragan. Dia juga mulai meninggalkan pondok pesantren dan melakukan dakwah langsung di tengah masyarakat.
Sarana dakwah itu dimanfaatkannya sambil mengajarkan berbagai ilmu kesaktian dalam bela diri sebagai bekal melawan penjajah. Aktivitas Kiai Abbas ini cepat mendapatkan respon positif dari masyarakat yang ingin berjuang.
Dengan cepat, Pondok Pesantren Buntet yang dikenal sebagai laboratorium pendidikan agama Islam, berkembang menjadi benteng perlawanan melawan penjajah. Kiai Abbas lalu mendirikan laskar Hizbullah sebagai wadah perjuangan.
Selain Hizbullah, Kiai Abbas dan para sesepuh Pesantren Buntet juga membentuk organisasi Asybal yang anggotanya terdiri dari anak-anak usia di bawah 17 tahun. Organisasi ini bertugas untuk memata-matai pergerakan musuh.
Salah seorang pengawal Kiai Abbas, Abdul Wachid menceritakan pengalamannya mengawal Kiai Abbas ke Surabaya. Bersama Detasemen Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat, Kiai Abbas berangkat pada 6 November 1945.
Pasukan Kiai Abbas meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon naik Kereta Api Express. Turut serta bersama rombongan Kiai H Achmad Tamin dari Losari yang berperan sebagai pendamping Kiai Abbas.
Pada waktu itu, Kiai Abbas tampak mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban, dan beralas kaki trumpah atau sandal japit dari kulit. Bawaan Kiai Abbas saat itu hanya sebuah kantong plastik berisinya sandal bakyak.
Setibanya di Stasiun Rembang, Jawa Tengah, sudah banyak yang menunggunya. Rombongan Kiai Abbas lalu diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri, di Rembang. Malam harinya, mereka musyawarah menentukan pemimpin pertempuran.
Dalam musyawarah itu, komando pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas. Usai salat subuh, Pondok Pesantren Rembang sudah ramai oleh santri yang siap mati berjuang melawan penjajah. Rombongan lalu berangkat ke Surabaya.
Sebelum ke Surabaya, Kiai Abbas memanggil Abdul Wachid dan meminta sandal bakyak yang dititipkan kepadanya saat di Cirebon. Kiai Abbas lalu berangkat dengan menumpang mobil sedang kuno.
Di dalam mobil yang ditumpangi Kiai Abbas juga terdapat Kiai Bisri yang duduk di jok belakang, dan H Achmad Tamin di depan bersama sopir. Sementara para pengawal Kiai Abbas dari Cirebon diminta tinggal berjaga di Pesantren Rembang.
Setibanya di Surabaya, rombongan Kiai Abbas disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Para kiai lalu masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah. Kemudian, Kiai Abbas meminta Kiai H Achmad Tamin berdoa di tepi kolam.
Sedangkan kepada Kiai Bisri dari Rembang, Kiai Abbas memohon agar dia memerintahkan para laskar dan pemuda yang akan berjuang melawan penjajah untuk mengambil air wudu dan meminum air yang telah diberi doa.
Setelah meminum air yang telah diberi doa, para pemuda yang tergabung dalam Badan Perjuangan Arek-Arek Suroboyo tanpa mengenal takut langsung menyerang tentara Belanda dengan hanya bersenjatakan bambu runcing, dan parang.
Melihat keberanian pemuda Indonesia, para tentara Belanda menghamburkan pelurunya ke segala arah. Korban dari kalangan pemuda sangat banyak sekali. Namun banyak juga serdadu Belanda yang tewas di ujung bambu runcing.
Dalam pertempuran itu, Kiai Abbas dan para kiai lainnya berada di tempat yang agak tinggi, hingga bisa memantau jalannya pertempuran. Dengan menggunakan sandal bakyak, Kiai Abbas berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa.
Dia mengadahkan kedua tangannya ke langit, dan keajaiban terjadi. Beribu-ribu talu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu–serdadu Belanda.
Suaranya tampak bergemuruh bagaikan air bah, sehingga Belanda kewalahan dan mundur ke kapal induk mereka. Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara.
Beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi dengan maksud menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya. Tetapi sekali lagi, pesawat-pesawat itu mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum beraksi.
Dalam catatan koran masa perjuangan, apa yang dilakukan Kiai Abbas digambarkan di luar logika. Tetapi bener adanya. Melalui karomahnya, dia meruntuhkan pesawat tentara sekutu hanya dengan mengarahkan tongkatnya ke pesawat.
Dalam berita Kedaulatan Rakjat yang bersumber dari pihak Inggris, disebutkan bahwa sejak terjadinya pertempuran di Surabaya, sampai dengan 17 Desember 1945, tentara Inggris menderita kerugian 7 pesawat Thunderbolt.
Dalam kisah yang lain, dalam pertempuran itu Kiai Abbas menaburkan kerikil dan pasir ke arah tentara Inggris, namun seolah-olah menjadi senjata dan bom dimata lawan, hingga membuat pasukan sekutu lari terbirit-birit.
Pada tanggal 13 November 1945, Kiai Abbas dan sejumlah rombongan kiai lainnya tiba dengan selamat di Pondok Pesantren Rembang. Saat itu, kondisinya tampak sangat lelah. Setelah subuh, mereka kembali pulang ke Cirebon.
Di tengah gigihnya perjuangan bersenjata rakyat, misi diplomasi juga dijalankan. Perjalanan sejarah perjuangan ini sangat mendapatkan perhatian utama dari para ulama. Hingga akhirnya tercapai Perjanjian Linggarjati, pada 1946.
Hasil perjanjian yang dinilai sangat merugikan bangsa Indonesia itu membuat banyak perjuang kecewa. Saat mendengar hasil perjanjian, Kiai Abbas merasa sangat terpukul dan akhirnya jatuh sakit lalu meninggal pada waktu subuh.
Kiai Abbas meninggal pada 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, dan dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren. Demikian Cerita Pagi tentang sosok Kiai Abbas ini diakhiri, semoga memberi manfaat.
Sumber Tulisan:
Soemarsono, Revolusi Agustus, Hasta Mitra, November 2008.
Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, Pustaka Pesantren 2008.
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, Surya Dinasti 2017.
Hasan Kurniawan, Mukjizat Kiai Abbas Buntet dalam Pertempuran Surabaya,
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta