GARUT, iNewsGarut.id – Kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan pegawai salah satu bank BUMN berinisial NF di Kabupaten Garut memasuki babak baru. Sebelumnya, mantan pegawai yang bertugas sebagai mantri itu ditetapkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut sebagai tersangka, karena telah mengkorupsi dana nasabah hingga mencapai Rp1 M.
Kuasa hukum NF, David Ariyanto, menilai terdapat sejumlah kejanggalan yang dilakukan Kejari Garut selaku penyidik pada kasus kliennya ini. Pihaknya menemukan indikasi kesewenang-wenangan penyidik selama melakukan pemeriksaan terhadap NF.
"Petama kami menemukan dua sprindik (surat perintah penyidikan), yakni adanya sprindik nomor 1 tanggal 30 Agustus dan sprindik nomor 2 tanggal 14 September. Sementara yang kami ketahui, seharusnya dalam hukum acara itu tidak boleh ada sprindik double pada pemeriksaan suatu perkara," kata David Ariyanto, pada MNC Portal Indonesia, Senin (13/2/2023) malam.
Indikasi kedua yaitu masalah kerugian dalam perkara yang ditangani. Dalam hal ini, lanjut dia, kuasa hukum mencermati bahwa penyidik dari Kejari Garut hanya menggunakan perhitungan internal bank tempat NF bekerja, bukan mengacu pada perhitungan BPK sesuai dengan Pasal 10 ayat 1 UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK.
"Yang digunakan penyidik berdasarkan perhitungan internal BRI saja, sementara BPK tidak menghitung. Padahal dalam amanat undang-undang jelas, bahwa BPK adalah satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan menghitung kerugian negara. Tentu kami sebagai kuasa hukum keberatan dengan pihak kejaksaan," ujarnya.
Terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan, David Ariyanto beranggapan bahwa tindakan ini selalu melibatkan peran seseorang atau lebih yang dalam perspektif hukum pidana adalah penyertaan atau turut serta melakukan. Selanjutnya, keterlibatan ini harus dicari pertanggungjawaban dari masing-masing pihak yang terlibat.
"Jaksa tidak memeriksa, menghitung, berapa kerugian negara yang diakibatkan untuk keuntungan NF dan berapa kerugian selebihnya untuk keuntungan pihak lain," ucapnya.
Kuasa hukum pun beranggapan penyidik telah lalai karena tidak memeriksa unsur pimpinan bank tempat NF bekerja, dan sejumlah pihak lain dalam hal ini adalah nasabah. Sebab, lanjutnya, tindakan yang dilakukan NF yaitu menggunakan uang milik nasabah sebesar Rp1 M tidak sepenuhnya untuk kepentingan pribadi.
"Sebagai mantri, klien kami memiliki tugas untuk mempertahankan nasbahnya agar tidak pindah ke bank lain. Bagaimana caranya, dia membuat program-program hadiah yang diinginkan nasabah, sehingga BRI tidak kehilangan nasabah, jadi semua pihak mulai para nasabah lain serta BRI diuntungkan sebenarnya," katanya.
Rata-rata hadiah-hadiah yang diterima nasabah dari NF berupa kendaraan, peralatan elektronik, hingga uang tunai. Kendati demikian, David Ariyanto mengakui jika penggunaan uang nasabah lain guna membiayai sejumlah program tersebut merupakan tindakan keliru.
"Kejadian penggunaan uang nasabah untuk program hadiah ini bulan April, sementara kemudian NF di-PHK dari BRI bulan Juni. Kemudian, ada kesepakatan antara klien kami dengan nasabah yang uangnya digunakan tanpa sepengetahuan pada Desember terkait pengembalian dana. Waktu itu NF telah mengembalikan uang Rp100 juta dan memberikan sertifikat sebagai pengganti agar masalah dapat diselesaikan secara musyawarah," urainya.
Akan tetapi, pihak pimpinan bank berinisiatif untuk mengembalikan seluruh dana nasabah yang merasa dirugikan itu dengan uang yang tersedia.
"Seharusnya pimpinan bank ini ikut diperiksa, karena dia lah yang berinisiatif mengganti dana nasabah dengan uang negara. Sementara klien kami dan nasabah yang bersangkutan sebenarnya sudah bermusyawarah untuk mencari solusi atas masalah tersebut, yaitu NF akan mengembalikan seluruh dananya," katanya.
David Ariyanto pun menyebut pihak Kejari Garut tidak melakukan penyitaan atas semua bentuk kerugian negara yang terjadi. Dalam hal ini, sejumlah barang elektronik, kendaraan hingga uang tunai yang diberikan pada para nasabah lain sebagai hadiah.
"Kejari Garut sampai detik ini sama sekali belum melakukan penyitaan. Seharusnya semua itu disita sesuai Pasal 2 maupun Pasal 3 UU Tipikor. Sementara di saat yang sama, jaksa tidak menghitung unsur menguntungkan diri sendiri, berapa keuntungan yang diperoleh NF dari kerugian negara yang terjadi, lalu berapa juga keuntungan yang didapat orang lain. Kami menilai Kejari Garut tidak fair," paparnya.
Karena berbagai indikasi kesewenang-wenangan penyidik itulah, kuasa hukum NF pun melayangkan pra peradilan kasus ini ke Pengadilan Negeri (PN) Garut pada Senin 13 Februari 2023 ini. Pengajuan pra peradilan atas kasus NF ini adalah untuk menguji perkara tersebut sebelum disidangkan di Pengadilan Tipikor Bandung.
Akan tetapi, pihak Kejari Garut selaku jaksa di kasus tersebut tidak memenuhi panggilan pengadilan. Ia menuding jaksa sengaja tidak hadir memenuhi panggilan adalah untuk menghindar dan mengulur waktu.
"Menghindar, mengulur waktu agar pra peradilan yang kami layangkan gugur dengan sendirinya. Sementara perkara ini telah mereka masukan ke Pengadilan Tipikor Bandung dan akan mulai sidang pada 16 Februari 2023 mendatang. Tindakan tidak memenuhi panggilan pengadilan membuktikan bahwa jaksa Kejari Garut melakukan perbuatan yang tak layak dilakukan penegak hukum," katanya.
Sebelumnya, Kepala Kejari Garut Neva Sari Susanti pada konferensi pers di kantor Kejari Garut Kamis 8 Desember 2022 lalu, mengungkapkan jika perbuatan NF dimulai pada April 2021 lalu. Tindakan yang dilakukan NF dilakukan saat dirinya diberi kewenangan sebagai petugas pengganti, karena pimpinan bank tengah berdinas ke luar daerah.
"Kejadian ini baru diketahui nasabah saat melakukan cek saldo dengan mendatangi bank, tersangka menjanjikan uang yang hilang akan kembali, padahal uang yang digunakan untuk menutupi kekurangan saldo itu dari nasabah lainnya. Tersangka melakukan semua itu dengan menyuruh teller yang merupakan juniornya," kata Neva Sari Susanti.
Kecurigaan pihak nasbah dan bank pun kemudian dilaporkan ke aparat penegak hukum. "Pada September 2022 keluar surat perintah penyidikan dan saat ini saudari NF ini kami tetapkan sebagai tersangka," ujarnya.
Kajari Garut menyebut NF melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 tahun 2001, dengan hukuman paling singkat selama 4 tahun dan paling lama 20 tahun atau hukuman mati. Selain itu, NF juga dikenakan denda minimal Rp50 juta atau maksimal Rp1 M.
Editor : ii Solihin