GARUT, iNewsGarut.id – Keberagamaan adat istiadat dan budaya melekat di Kabupaten Garut. Kota ini menyimpan sejuta keunikan yang tersimpan di dalam adat dan budaya. Salah satunya Kampung Pulo Garut yang memiliki keunikan di dalamnya.
Kampung Adat Pulo berada di kampung panjang, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Kampung adat ini terletak di seberang situ Cangkuang. Yang mana kampung ini memisahkan antara kampung Pulo dan Desa Cangkuang.
Ternyata, kampung adat ini menyimpan keunikan tersendiri. Berikut iNewsGarut.id, merangkumnya dari berbagai sumber tentang Fakta Keunikan Kampung Pulo Garut !
Simbol 7 Bangunan Pokok
Kampung adat Pulo memiliki 7 bangunan pokok. Dimana ada 6 bangunan rumah dan 1 bangunan Mushola. Ke enam bangunan rumah tersebut berjejer saling berhadapan. 3 bangunan di kiri, dan 3 bangunan di kanan. Sedangkan, 1 mushola berada tepat di depan pintu depan.
Bangunan tersebut merupakan simbol ke tujuh anak eyang embah dalem Arief Muhammad. Dimana 6 bangunan rumah menjadi simbol ke enam anak perempuannya. Sedangkan, 1 bangunan yakni mushola menjadi simbol satu-satunya anak laki-laki Eyang embah dalem Arief Muhammad.
Diketahui Eyang embah dalem Arief Muhammad merupakan penyebar agama Islam di Desa Cangkuang. Beliau merupakan tokoh penting dimana kala itu penduduk di Desa tersebut menganut agama Hindu.
Rakit Sebagai Alat Transportasi Menyebrangi Situ Cangkuang
Bila ingin mencapai ke kampung adat Pulo. Kita harus menyebrangi situ. Dimana alat transportasi untuk mencapai ke kampung adat tersebut menggunakan rakit.
Rakit tersebut terbuat dari bambu dimana salah seorang menjadi pengayuh mengunakan bambu panjang. Rakit tersebut untuk menyebrangi Situ Cangkuang yang kedalamannya mencapai 1,5 meter.
Bukti Penyebaran Agama Islam di Garut
Di dalam komplek Candi Cangkuang terdapat bukti sejarah penyebaran agama Islam di Garut yang tersimpan rapi di dalam sebuah bangunan. Buktinya seperti kitab kuno, Al Qur'an, hingga naskah khotbah.
Naskah-naskah tersebut ditulis oleh eyang embah dalem Arief Muhammad yang menyebarkan agama Islam, ditulis dalam kertas yang terbuat dari kayu saeh dan tinta arang.
Larangan Menabuh Gong Besar
Di kampung adat Pulo dilarang menabuh gong besar. Kisahnya kala itu anak laki-laki satu-satunya disunat. Diadakan pesta besar-besaran dengan diarak menggunakan sisingaan, musik gamelan dan gong besar mengiringinya. Namun, saat arak-arakan tiba-tiba terjadi angin badai kuat yang mana kala itu mendorong anak laki-laki satu-satunya itu hingga terjatuh dari tandu. Hal tersebut menyebabkan anak tersebut meninggal dunia.
Sejak saat itulah, di Kampung Pulo dilarang menabuh gong besar untuk menghindari hal serupa terjadi.
Warga Kampung Pulo Masih Memegang Teguh Akulturasi Budaya
Akulturasi budaya masih dijalankan di kampung adat Pulo. Sebelum eyang embah dalem Arief Muhammad datang ke kampung tersebut. Penduduk disana memegang kepercayaan animisme, dinamisme, dan Hindu.
Kala itu Eyang Embah dalem Arief Muhammad memilih tidak pulang ke Mataram dan menyebarkan agama Islam ke penduduk disana. Akulturasi budaya pun terjadi, hal tersebut terlaksana karena penduduk sekitar memegang agama Islam tetapi tetap menjalankan tradisi -tradisi Hindu yang diwariskan secara turun temurun.
Tradisi tersebut seperti upacara adat, memandikan benda pusaka, Syukuran, dan ritual lainnya. Mereka (Masyarakat Kampung Pulo) masih memegang teguh nilai-nilai budaya sebagai pedoman hidupnya.
Editor : ii Solihin