JAKARTA, iNews.id - Pada tahun 1651 sampai 1683, Kesultanan Banten mengalami puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
Selama itu, Kesultanan Banten menjadi bandar perdagangan lada terbesar di Nusantara mengungguli Aceh dan Makassar.
Hal itu membuat kongsi dagang Belanda, yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) terganggu dengan politik pemerintahan yang diterapkan Sultan (raja) yang dikenal dengan nama Pangeran Surya. Selama pemerintahannya, VOC kesulitan menerapkan praktik monopoli dagang.
Banten disebut memiliki lokasi strategis sebagai pusat perdagangan internasional. Konflik Kesultanan Banten dan VOC makin meruncing sejak Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa.
Di saat VOC melakukan blokade terhadap jalur perdagangan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa melakukan perlawanan. Dia melakukannya dengan menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang Eropa lainnya seperti Prancis, Inggris, dan Denmark.
Sultan Ageng Tirtayasa juga meluaskan interaksi dengan negara Asia lainnya yaitu China, Persia, dan India. Dia juga membangun irigasi sepanjang Sungai Ujung Jawa sampai Pontang untuk pengairan sawah sekaligus suplai perang.
Siasat itu dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa untuk menghancurkan strategi VOC menghadang kapal China yang berlayar ke Banten.
Pada 1671, Sultan Ageng Tirtayasa fokus mengalahkan VOC dan menyerahkan urusan dalam negeri pada anaknya sendiri, Sultan Haji. Nahas, pengangkatan Sultan Haji justru menguntungkan VOC.
Dia melakukan kudeta dengan merebut Kesultanan Banten dan menjadi raja di Istana Surosowan pada 1681. Ternyata kudeta Sultan Haji itu mendapat dukungan dari VOC.
Namun hal itu menjadi senjata makan tuan bagi Sultan Haji yang harus menandatangi perjanjian dengan VOC sebagai timbal balik. Sejumlah syarat ditetapkan VOC agar Sultan Haji mendapat bantuan.
Yang pertama Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC, kedua VOC diizinkan memonopoli perdagangan lada di Banten serta Sultan Banten harus mengusir pedagang Persia, India, dan China dari Banten.
Apabila hal itu diingkari, Kesultanan Banten wajib membayar 60.000 ringgit kepada VOC. Syarat keempat dan terakhir, pasukan Banten yang menguasai pantau dan pedalaman Priangan harus ditarik.
Sultan Haji pun menerima syarat-syarat tersebut. Keputusan itu membuat rakyat Banten gerah dan tidak mengakui Sultan Haji sebagai pemimpin.
Sultan Ageng Tirtayasa beserta rakyatnya kemudian bergerak untuk mengambil kembali Kesultanan Banten.
Pada tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa dan pasukannya berhasil mendesak Sultan Haji. Istana Surosowan pun berhasil dikepung. Namun pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil dipukul mundur dan melarikan diri ke Rangkasbitung.
Dia melakukan perlawan selama sekitar setahun dari sana. Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap VOC yang menerapkan tipu muslihat. Dia kemudian dipenjara di Batavia sampai tutup usia pada tahun 1692.
Editor : Sazili Mustofa