GARUT, iNewsGarut.id – Penelitian terkait penggunaan maggot, nama lain dari belatung, sebagai pengurai limbah padat hasil proses penyamakan kulit pada industri kulit di Sukaregang, Kabupaten Garut, berhasil dilakukan. Hewan larva dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF) atau bernama Latin Hermetia Illucens itu sukses memukau para peneliti dan akademisi Universitas Bandung (Unisba) selama proses uji coba berlangsung.
Ketua Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Unisba untuk program pengembangan kewirausahaan pemberdayaan masyarakat UMKM penyamakan kulit Sukaregang, Asep Nana Rukmana, mengatakan maggot bisa menjadi solusi atas persoalan limbah padat hasil industri kulit.
"Kami uji coba dulu limbah kulit dari sisitan-sisitan daging. Diuji sekitar 10 kg dulu limbahnya dan ternyata habis juga," kata Asep Nana Rukmana, Selasa (28/2/2023).
Namun demikian, ia mengungkapkan jika penggunaan maggot ini hanya dapat diaplikasikan pada limbah kulit padat yang belum melalui proses penggunaan bahan kimia berlebih. "Untuk limbah padat yang mengandung bahan kimia dengan kadar terbilang ringan masih bisa. Tapi yang diutamakan untuk limbah sebelum masuk ke proses kimia, sebelum proses krom (chrome leather tanning)," ujarnya.
Ia menambahkan, penggunaan maggot bagi pengusaha dan penyamak kulit dapat memberikan keuntungan lebih selain sebagai pengurai limbah. Menurutnya maggot yang digunakan dapat dijual kembali, misalnya sebagai pakan hewan.
"Budidaya maggot ini bisa dijual, contohnya untuk pakan burung. Lalu sisanya juga bisa menjadi kompos," katanya.
Pegiat lingkungan dari Komunitas Pengelola Sampah Mandiri Bandung, Wawan Setiawan, menjelaskan maggot sangat efektif dalam mengurai sampah organik. Limbah kulit yang bersifat padat hasil sisitan daging termasuk ke dalam limbah organik.
"Potensi budidaya maggot sangat luar biasa, di satu sisi bisa menghabisikan sampah organik, di sisi yang lain bisa menghasilkan untung. Penggunaan maggot sangat mudah, karena binatang ini sangat rakus menghabiskan sampah organik," ucap Wawan.
Maggot, lanjutnya, memiliki nilai ekonomi tinggi saat dijual dalam keadaan hidup atau mati. "Ada maggot hidup yang biasa kita sebut maggot fresh, ada juga maggot dry yang kita keringkan melalui proses oven. Maggot dry inilah yang biasa dijual untuk pakan burung, ayam, dan ikan," ucapnya.
Dalam simulasi yang ia lakukan, dari 5 gram telur dapat menghasilkan maggot dalam jumlah banyak dengan berat 5 gram. Maggot sebanyak ini dapat menghabiskan 5 kg sampah organik.
"Ke depan harapan saya adalah di industri kulit ini setidaknya bisa dikembangkan menjadi dua divisi, yakni divisi proses produksi dan divisi pengolahan limbah berbahan organik yang bisa memberikan nilai tambah," ujar Wawan.
Besarnya potensi maggot ini setidaknya memberikan harapan baru dalam persoalan limbah hasil proses penyamakan kulit. Pasalnya, penanganan limbah industri kulit Sukaregang selama satu dekade terakhir seakan menemui jalan buntu.
Hingga kini, tak sedikit para pengusaha di industri kulit yang masih dipusingkan dengan penanganan limbah yang bersifat padat dan cair. Dalam penanganan limbah padat, para pengusaha mesti mengeluarkan biaya sebesar Rp3,500 per kg agar setiap limbah padat dapat diangkut dan dibuang ke daerah yang aman.
Harga dari biaya angkut dan buang limbah padat ini sekilas tampak relatif terjangkau. "Namun ternyata biaya ini menjadi beban tersendiri, karena rata-rata bobot limbah padat yang dihasilkan para pengusaha dalam industri kulit di Sukaregang sangat banyak, bisa mencapai 10 ton per bulan," kata Wakil Ketua Bidang Pemerintahan DPD Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Garut, Sukandar.
Sukandar dan para penyamak kulit Sukaregang Garut lainnya pun mengapresiasi penelitian yang menggunakan maggot sebagai solusi atas penanganan limbah padat. Setidaknya, mulai saat ini para pengusaha dapat menghasilkan keuntungan sampingan dari proses pengolahan, ketimbang pengeluaran yang mesti dibayarkan pada saat membuang limbah padat sebelumnya.
"Tentu sangat antusias sekali, mudah-mudahan hasilnya bisa diimplementasikan baik dalam bentuk pelatihan karena kami sangat siap. Semoga pemerintah pun dapat membantu memaksimalkan hasil dari apa yang diupayakan dari penelitian ini," ujarnya.
Sementara itu, penelitian lain dilakukan pula dalam menangani limbah industri kulit yang bersifat cair. Peneliti Program Profesi Insinyur Fakultas Teknik Unisba, Aviasti, mengungkapkan pihaknya menggunakan bakteri pengurai zat kimia di proses aerasi limbah cair.
"Ada tiga kali proses aerasi, setelah proses aerasi ini air limbah betul-betul jernih dan tak menghasilkan bau lagi. Untuk memastikan bebas dari zat kimia, kami sedang melakukan uji lab, jika nanti hasil lab selesai dan dinyatakan bebas, baru limbah cair bisa di buang ke sungai karena sifatnya telah netral tak beracun lagi," kata Aviasti.
Editor : ii Solihin
Artikel Terkait