JAKARTA, iNews.id - Tim penasehat hukum gabungan AYH, tersangka kasus dugaan korupsi pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PD. PDE) Sumatera Selatan (Sumsel) mendaftarkan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel).
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan AYH atas kasus tersebut karena negara mengalami kerugian 30,2 juta dolar Amerika Serikat (USD).
Tim penasehat hukum tersangka AYH terdiri dari Hasan Madani, Aristo Yanuarius Seda, Mahmuddin, Kamal Farza, dan Ifdhal Kasim. Ifdhal Kasim mengatakan, penetapan tersangka dan penahanan AYH bertentangan dengan ketentuan formil yang diwajibkan KUHAP.
"Terkesan tergesa-gesa, dipaksakan, dan eksesif menggunakan rambu hukum yang ada. Karena itu, hari ini kami menguji di hadapan yang mulia majelis hakim, apakah penetapan dan penahanan tersangka seperti yang dilakukan jaksa seperti itu dapat dibenarkan secara hukum?" kata Ifdhal Kasim.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, yang secara tegas dan jelas menentukan Penetapan Tersangka merupakan objek praperadilan.
"Dasar pertimbangannya adalah karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap Hak Asasi Manusia, maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan," tukasnya.
Putusan MK tersebut jelas selaras dan sesuai dengan maksud dan tujuan diselenggarakannya lembaga Praperadilan yang terdapat dalam KUHAP, yaitu terjaminnya Hak Asasi Manusia sehingga tersangka tidak dapat diperlakukan secara semana-mena.
"Permohonan Praperadilan yang kami ajukan hari ini adalah bermaksud menguji sah tidaknya penggunaan wewenang yang digunakan penyidik dalam menetapkan dan melakukan penahanan terhadap klien kami (AYH). Lembaga Praperadilan saat ini tidak hanya terbatas menguji wewenang Penyidik yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, melainkan juga penggunaan kewenangan lainnya seperti penetapan tersangka dan penahanan yang berindikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia," tambahnya.
Ifdal Kasim melanjutkan, hubungan AYH dengan PD Sumsel (BUMD) adalah bisnis dengan bisnis. AYH adalah profesional, pengusaha, yang membangun usaha patungan dengan BUMD, dalam badan hukum perseroan terbatas yang legal dan sah. Dalam kerja sama patungan tersebut pihak swasta menggunakan uang dari modal sendiri bukan uang negara, membeli dan menjual secara sah. Usaha patungan tersebut tidak menggunakan fasilitas negara (BUMD).
"Bagaimana mungkin kemudian beliau ditetapkan sebagai tersangka melakukan korupsi dan ditahan pula? Ini preseden buruk bagi dunia bisnis di Indonesia," tandasnya.
Tindakan penyidik tersebut, selain tidak sejalan dengan hukum dan menghormati hak asasi manusia, juga dikhawatirkan menjadi preseden hukum yang buruk bagi iklim bisnis yang sedang digenjot Presiden Joko Widodo. Akan banyak pelaku usaha yang melakukan usaha patungan (joint venture) dengan BUMN/BUMD was-was, karena sewaktu-waktu bisa saja mereka dibidik dengan mudah melakukan korupsi.
"Jelas ini tidak kondusif bagi usaha membangun iklim bisnis yang sehat dan kompetitif. Bagi klien kami, ini jelas telah dirampas hak asasinya," paparnya
"Sejak kasus ini mulai diperiksa, klien kami selalu koperatif, hadir setiap dipanggil. Tidak ada indikasi apapun klien kami melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatan. Klien tidak lagi punya akses atas perusahaan daerah tersebut," pungkasnya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait