JAKARTA, iNews.id - Monumen Nasional (Monas) dan Alun-alun Utara Yogyakarta dijual secara virtual bikin heboh dalam beberapa hari terakhir ini. Penjualan tersebut dilakukan di situs Next Earth.
Mengenai hal itu, pakar komunikasi digital UI Firman Kurniawan mengatakan, ruang virtual masih belum terlalu diatur dalam peraturan hukum Indonesia.
Dia mengingatkan ruang virtual tidak berarti sama dengan kondisi sebenarnya, sehingga tidak tepat bila status kepemilikan di dunia virtual itu disamakan dengan dunia nyata.
Namun, menurutnya, kondisi ini bisa memicu kerancuan yang bisa berujung pada munculnya berbagai masalah.
"Masalah bisa muncul karena belum ada aturan hukum yang spesifik. Sementara ada risiko tafsir aturannya dicampur aduk dengan aturan main kehidupan real sehari-hari," kata Firman saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Sabtu (8/1/2022).
Dia menjelaskan, keberadaan virtual itu tidak menciptakan kondisi sebagaimana di bumi. Firman menuturkan, ruang virtual, seperti metaverse atau ekstensi bumi virtual yang identik dengan bumi saat ini, termasuk Aun-alun Utara Yogyakarta muncul karena salinan data (jutaan peta muka Bumi) dan sistem algoritma, sehingga mampu memunculkan keidentikan dengan kondisi riil.
"Realitasnya sebatas virtual. Ia adalah space of flows. Ada karena terhubung oleh internet," ujarnya.
Alun-alun Utara Yogyakarta.(Foto:Ist)
Terlebih metaverse ini sebenarnya terjadi karena adanya jaringan internet. Apabila aliran listrik mati atau internet down, ruang metaverse tersebut tentu tidak ada atau tidak bisa diakses.
"Jadi, ruang itu 'ada tapi maya', bukan 'ada tapi real'. Nah, karena 'ada tapi maya' tentu konsekuensi hukum atau regulasinya tidak akan sama dengan 'ada tapi real' kan?" tuturnya.
Dia pun mengingatkan agar masyarakat Indonesia jangan gampang terjebak jargon populer dan sekadar nampak canggih.
"Metaverse adalah hasil inovasi teknologi informasi. Keberadaannya mampu menciptakan dan mengorganisasi ulang kehidupan paralel di dunia yang kita huni. Namun hasil penataan ulangnya tergantung pihak-pihak yang berinteraksi di dalamnya," ucap dia.
Menurutnya, bisa saja menjadi lebih baik atau lebih buruk, dan itu sangat tergantung kesepakatan. Apakah bernilai atau tak bernilai tergantung pihak yang terlibat untuk memberi nilai.
"Dan, yang harus sepenuhnya dipahami, dunia paralel itu ditopang oleh teknologi. Teknologi tak pernah lepas dari kepentingan pengembangnya. Kepentingan itu mulai dari ekonomi, politik, sosial, budaya. Tidak pernah netral," kata Firman.
Alun-alun Utara Yogyakarta.(Foto:Ist)
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta