Tepat di Samping Kantor Desa, Warga Garut Ini Tinggal di Rumah Tidak Layak Huni

Lebih jauh, Haris menjelaskan bahwa keterbatasan anggaran menjadi alasan utama banyak warga belum tersentuh program bantuan perbaikan rumah. Menurutnya, rumah-rumah tidak layak huni masih tersebar di seluruh RW di desa tersebut.
“Kita sudah berusaha mengajukan lewat jalur aspirasi ke kabupaten maupun provinsi. Tapi yang menentukan kan di atas. Kita hanya bisa berharap dan menunggu. Belum lagi kalau bicara soal anggaran, sekarang biaya bangun rumah besar sekali. Material dan tukang saja sudah mahal, belum biaya harian warga,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa saat ini kontribusi swadaya masyarakat juga sangat terbatas, sehingga perbaikan rumah hanya bisa dilakukan jika ada bantuan langsung dari pemerintah pusat atau daerah.
“Kita di desa itu cuma bisa meminta. Yang memberi ya pihak di atas. Makanya kadang susah kapan bantuan itu turun,” tutup Haris.
Kisah Odas Ramsyah mencerminkan kenyataan yang masih dihadapi oleh banyak warga desa di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di wilayah pinggiran atau belum sepenuhnya terjangkau pembangunan. Padahal, berdasarkan kebijakan pusat, program perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) seharusnya menjadi prioritas dalam pengentasan kemiskinan ekstrem.
Namun pada praktiknya, keterbatasan anggaran, tumpang tindih data bantuan, serta birokrasi yang panjang membuat banyak warga seperti Odas terpaksa menunggu tanpa kepastian.
Editor : ii Solihin