Terlebih metaverse ini sebenarnya terjadi karena adanya jaringan internet. Apabila aliran listrik mati atau internet down, ruang metaverse tersebut tentu tidak ada atau tidak bisa diakses.
"Jadi, ruang itu 'ada tapi maya', bukan 'ada tapi real'. Nah, karena 'ada tapi maya' tentu konsekuensi hukum atau regulasinya tidak akan sama dengan 'ada tapi real' kan?" tuturnya.
Dia pun mengingatkan agar masyarakat Indonesia jangan gampang terjebak jargon populer dan sekadar nampak canggih.
"Metaverse adalah hasil inovasi teknologi informasi. Keberadaannya mampu menciptakan dan mengorganisasi ulang kehidupan paralel di dunia yang kita huni. Namun hasil penataan ulangnya tergantung pihak-pihak yang berinteraksi di dalamnya," ucap dia.
Menurutnya, bisa saja menjadi lebih baik atau lebih buruk, dan itu sangat tergantung kesepakatan. Apakah bernilai atau tak bernilai tergantung pihak yang terlibat untuk memberi nilai.
"Dan, yang harus sepenuhnya dipahami, dunia paralel itu ditopang oleh teknologi. Teknologi tak pernah lepas dari kepentingan pengembangnya. Kepentingan itu mulai dari ekonomi, politik, sosial, budaya. Tidak pernah netral," kata Firman.
Alun-alun Utara Yogyakarta.(Foto:Ist)
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta